Pada suatu
hari Vinka berjalan sendiri. Menenangkan hati. Dia memang sedang sumpek. Betapa
tidak, orang tua dan teman-temannya selalu menyalahkan dirinya. Beberapa memang
mungkin adalah kecerobohannya, tapi tak jarang orang-orang hanya men-judge dan
hanya memanfaatkannya.
Langkah
demi langkah ia lalui dengan hampa. Terpikir baginya untuk mengakhiri hidup
bila mengingat semua tuduhan yang diberikan kepadanya. Seakan terhipnotis,
tibalah ia di tepi sungai. Ingin rasanya ia membunuh dirinya dengan berjalan
melawan derasnya arus air dan tajamnya bebatuan. Namun rasa takut mulai
menyergapinya. Bagaimana kiranya tanggapan orang yang ditinggalkannya? Akankah
menertawakan kebodohannya? Dan hal ini malah membuat ia semakin menyesali keputusannya?
Hatinya
diselimuti kegundahan. Antara iya dan tidak. Sebagian hatinya memaksa untuk
berjalan menelusuri sungai deras tersebut, tetapi sebagian lagi menyuruhnya
untuk berbalik dan menyelesaikan masalah. Kegundahan ini membuat Vinka tetap
terdiam dan akhirnya mematung. Orang-orang yang berjalan di sekitarnya hanya
menatap dan memandang iba kepadanya. Penampilan Vinka memang cenderung sangat
mengenaskan untuk dilihat. Rambutnya yang kucel dikuncir kuda, baju merahnya
kusut karena diremas-remas dari tadi, dan celananya pun kotor karena lumpur
yang ia lewati.
Tibalah
saatnya Vinka memutuskan. Dicobanya untuk mulai menapaki langkah menuju sungai.
Saat ia mulai melangkah, seseorang tiba-tiba memegang pundaknya. “Siapa yang
memegang pundakku?” batin Vinka. Segera ia berbalik dan menatap tajam orang
yang berani menghentikan langkahnya itu.
“Apa
yang akan kamu lakukan Vinka?” belum sempat Vinka berbicara, orang tersebut
sudah bertanya.
“Bukan
urusanmu, Tito,” jawab Vinka ketus.
“Ada
apa denganmu, Vin? Daritadi aku mengikuti kamu, kamu terlihat sangat gundah.
Itu membuatku sangat khawatir,” ujar Tito.
“Peduli
kamu apa? Kamu tuh ga ada hubungannya sama aku. Mau aku mati kek, jatuh kek,
sakit kek, terluka kek, itu bukan urusan kamu. Ingat itu!” ketus Vinka lagi.
“Sabar,
Vin. Kamu lagi ada masalah berat ya? Berbagi yuk sama aku. Siapa tau aku bisa
bantu kamu,” hibur Tito tanpa memedulikan ketus Vinka.
“Please,
Tito. Lebih baik aku menyendiri daripada harus cerita sama kamu!” jawab Vinka
sambil duduk merendam kaki di tepi sungai.
“Baiklah,
kalau gitu aku juga akan duduk menunggu disini,” ujar Tito sambil duduk di
samping Vinka. Waktu pun berlalu tanpa kata di antara Vinka dan Tito. Vinka
yang sudah sangat lelah untuk menghindar dan bosan berdiam diri bersama Tito
akhirnya membuka pembicaraan.
“To,
tau ga, aku lagi gundah banget akhir-akhir ini. Ga ada orang yang mengerti sama
aku. Semuanya ga peduli dengan keadaanku saat ini. Semua hanya bisa menyalahkan
aku. Aku sangat benci dengan situasi seperti ini To,” curhat Vinka.
“Vin,
kamu salah. Semua orang peduli kok sama kamu. Kenapa kamu berpikir semua ga ada
yang mengerti sama kamu?” balas Tito.
“Bayangkan
aja To, pertama, ga ada orang yang inget sama hari ulang tahun aku. Mungkin
kamu sendiri juga ga inget sama ulang tahun aku. Yang kedua, kamu tahu kan,
dari seminggu yang lalu aku selalu dijauhi oleh semua orang yang aku kira
sahabat terbaik aku. Mana mereka pakai acara bisik-bisik lagi di depan aku. Aku
merasa kayak digosipin To. Dan kamu tahu? Orang tuaku sama sekali ga peduli
sama hal ini. Kurang apalagi coba?” seru Vinka sambil cemberut.
“Apakah
kamu sudah mencoba berbicara langsung ke mereka Vin?” tanya Tito sambil
tersenyum.
“Mau
nanya apa? Wong aku mendekat aja udah dibisik-bisikin, mood aku kan langsung
turun,” ketus Vinka.
“Hm,
oke Vin. Well, sekarang kamu mau apa?” tanya Tito.
“Huh,
gatau deh. Aku pikir kamu bakal ngasih solusi kayak yang kamu bilang. Ternyata
ga. Aku mau bunuh diri aja. Puas kan? Sudah, pergi sana! Aku ga butuh kamu!”
seru Vinka sambil mendorong Tito. Tito pun segera memegang tangan Vinka erat
hingga Vinka meronta, seraya berkata,
“Vin,
ikut aku ya. Aku mau nunjukin sesuatu ke kamu,” ujarnya.
“Nunjukin
apa? Udah deh, ga usah ngebacot, aku udah muak,” ronta Vinka sambil berusaha
melepaskan tangannya dari cengkraman Tito.
“Udah
ikuti aku aja dulu,” ujar Tito sambil membawanya dengan mobil yang ternyata
sudah terparkir di jalan dekat sungai.
Vinka
yang sudah amat lelah itu hanya pasrah dibawa paksa oleh Tito. Dalam hati, ia
menyesal sudah berbicara dengan Tito. Tetapi hati kecilnya tetap penasaran
dengan ucapan Tito. Akan dibawa kemanakah ia? Untuk menutupi rasa penasarannya,
Vinka pun mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Tito yang tidak ingin
suasana menjadi hening pun mulai menyetel tapenya dengan lagu jazz, kesukaan Vinka.
Tak
lama, tibalah merekadi sebuah gubuk tua yang kelihatannya tidak berpenghuni. Vinka
pun menoleh heran kepada Tito. Tito pun tersenyum simpul menambah rasa waswas
dalam diri Vinka. Tetapi anehnya Vinka tak ingin kabur dan malah penasaran
dengan permainan Tito ini. Akhirnya diikutilah Tito yang berjalan keluar menuju
gubuk tersebut. Setelah sampai di depan gubuk, Tito pun berbelok ke kanan
menuju sebuah rawa yang terlihat menyeramkan. Vinka semakin cemas.” Sebenarnya
apa sih yang Tito rencanakan?” batinnya dalam hati. Ia pun semakin penasaran
ketika ternyata ujung dari rawa ini ternyata adalah sebuah hamparan padang
rumput yang sangat luas. Terlihat olehnya keramaian di tengah padang rumput
tersebut. Awalnya Vinka ga ngeh dengan keramaian orang tersebut. Tiba-tiba
berbunyi sebuah ledakan kecil yang menerbangkan sebuah spanduk bertuliskan,
“HAPPY
BIRTHDAY VINKA! SUCCESS FOR YOUR FOURTEEN YEARS!”
Vinka
yang tak menyangka dengan kejutan ini langsung menutup muka antara senang dan
malu. Setelah ia perhatikan dengan seksama, ternyata orang-orang itu adalah
orang tua serta teman-temannya. Ia tak menyangka bahwa semua orang terdekatnya
sangat peduli kepadanya. Tito yang menyadari hal ini pun langsung mengajak Vinka
mendekat dengan orang tua serta teman-temannya itu.
“Vinka,
selamat ulang tahun ya sayang. Sukses terus, jangan ngambek-ngambek lagi,” ujar
mamanya sambil mengecup dahinya.
“Iya,
nih papa udah buatin spanduk gede-gede khusus buat kamu lo,” tambah papanya
sambil tersenyum.
“Well,
happy birthday nih Vin. Sori ya kami semua udah jutek banget sama kamu
semingguan ini, tapi seneng deh lihat muka cemberut kamu haha,” kata
teman-teman Vinka sambil bergantian bersalaman dengan Vinka. Vinka pun yang
sedari tadi speechless akhirnya berkata,
“Terima
kasih ya ma, pa, teman-teman. Aku ga nyangka kalian inget dan peduli banget
sama aku sampai mau bela-belain bikin ini semua sama aku. Hampir aja aku mau
bunuh diri, untung aja ada Tito. Oiya, Tito makasih ya atas …” ucapan Vinka pun
terhenti karena ternyata Tito sudah tidak ada di belakangnya. Vinka pun cemas
dan kalang kabut.
Tak
lama kemudian,
“Happy
Birthday Vin. Thanks ya kamu udah bikin hari-hariku jadi indah. Aku punya
hadiah istimewa untuk kamu,” tiba-tiba terdengar suara Tito dari ujung rawa
tadi sambil membawa sebuah kue tart. Vinka pun semakin terkejut dan tak terasa
air matanya keluar. Tito pun akhirnya berdiri di depan Vinka.
“Ayo
Vin. Ditiup yang apinya. Don’t forget your wishes,” kata Tito.
Vinka
segera meniup sambil berdoa dalam hati. Setelah semua lilin ditiupkan,
teman-temannya pun bersorak dan mulai berebutan mengambil makanan. Vinka yang
memang tidak begitu lapar pun membiarkan mereka semua mencicipi makanan. Ia pun
menoleh ke arah Tito yang ternyata juga sedang melihatnya. Ia pun berkata,
“Terima kasih atas semuanya To.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar