Page Views

Selasa, 01 Maret 2011

Dia

Titik-titik hujan membasahi bumi. Membasahi dirinya disana. Ya, kulihat dirinya merengkuh diri dalam pelukan tas, mencoba menghangatkan diri.Tapi kutahu dia takkan pernah merasa dalam kehangatan.
Sudah satu jam ia disana. Masih menunggu hal yang tidak pasti. Kulihat matanya yang bulat itu mulai berkaca-kaca. Dan akhirnya menangis. Ya, menangis. Kutahan debar hati ini untuk tidak langsung menemuinya dan memeluknya. Karena kutahu aku takkan pernah bisa. Aku takkan pernah bisa menyeka air mata yang semakin deras membasahi muka sendunya itu.
Esoknya kulihat dia tertidur di tempat yang sama. Masih memeluk tas hijaunya itu. Aku pun hanya bisa melihatnya dari sini.
Oh tuhan, dia terbangun! Kulihat ia menyeka sisa air mata di wajahnya. Mata yang biasanya bulat bercahaya itu menjadi kecil lantaran banyak menangis. Kuakui aku tak tega. Ku tak sanggup melihat muka manisnya kusut lantaran tanah menghiasi mukanya. Aku tak kuat lagi. Aku tak tahan untuk tidak memeluknya. Aku pun berlari dari kediamanku dan memeluknya.
Aku mendekapnya dengan sekuat tenaga. Tapi ia seperti tak mengerti dengan apa yang kulakukan. Ia masih kelihatan menyeka air matanya mencoba untuk kuat dan tegar. Aku mulai menangis mengingat apa yang terjadi pada diriku saat ini. Ya, aku sadar. Aku takkan bisa lagi memeluknya, takkan bisa lagi menyentuhnya. Aku dan dia sudah di alam yang berbeda. Kurelakan sakit hati ini. Aku hanya bisa mengawasinya dari langit kelabu di sana. Dan aku pun membiarkan dirinya tetap duduk di sebelah nisan itu. Nisan bertuliskan nama seorang yang pernah dia sayang, yaitu aku.
  

1 komentar:

  1. cerita yang bagus len, ceritanya pendek tapi kerasa banget suasananya.

    BalasHapus